PEMBAHASAN
LITERARY JURNALISM
Jurnalisme
literair sesungguhnya dimulai pada tahun 1970-an, ketika Tom Wolfe – seorang
jurnalis di New York, Amerika Serikat — memperkenalkan gaya penulisan dalam
pers yang sama sekali baru yang ia sebut “new journalism.” Namun, saya kurang
sepakat dengan pendapat, bahwa jurnalisme literair di Indonesia pertama kali
diperkenalkan dalam sebuah kursus di Jakarta pada bulan Juli 2001. Menurut
saya, secara lebih luas, jurnalisme literair di Indonesia dimulai dengan
terbitnya Majalah Berita Mingguan TEMPO, terutama ketika pemimpin
redaksinya, Goenawan Mohamad – seperti halnya Tom Wolfe — memperkenalkan apa
yang ia sebut “jurnalisme baru”
Menurut
GM, gaya TEMPO yakni menulis berita secara bertutur (deskriptif),
adalah kombinasi antara ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian bersastra.
Memang, gaya TEMPO seperti itu diakui berkat “cipratan” inspirasi
dari gaya penulisan berita TIME Weekly Newsmagazine. Tapi, jauh sebelumnya
sudah ada para wartawan senior yang menulis dengan gaya jurnalisme literair,
seperti M. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang menulis laporan
perjalanan Dari Rumah ke Barat. Bahkan jauh sebelumnya, Adinegoro sudah
menulis jurnal perjalanan Melawat ke Barat yang dimuat berseri di
majalah Pandji Poestaka (Baca:Laporan Basah Laporan Sampah, Laporan
Kering Laporan Berdaging;http://www.budimanshartoyo.multiply.com).
Mulanya penulisan laporan dengan gaya sastra
digunakan untuk menandingi atau mengungguli daya piket kecepatan penyampaian
dan media audio visual yang diwakili oleh Televisi dan Radio. Dalam karya
sastra ini yang dibutuhkan adalah kedalaman informasi yang lebih dibandingkan
pelaporan biasa. Sebab, dalam pekerjan new journalism ada peliputan yang
digarap diluar kebiasaan reporter koran atau penulis nonfiksi, yakni :mengamati
seluruh suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang dan mencari bentuk
monolog interior yang bisa dipakai.
Menurut kalangan akademisi Amerika, secara umum
eksplorasi kerja para jurnalis baru itu dapat didefinisikan dalam empat bentuk
pengembangan, yaitu :
(1) menggambaran kegiatan jurnalistik yang
bertujuanmenciptakan opini publik dengan penekanan obyektivitas pers untuk
mewujudkan fungsi watch dog (penjaga moral) dari the fourth estate (pilar
keempat) setelah trias politica,
(2) memetakan upaya jurnalisme yang mengkhusukan
target pembacanya,
(3) penggunaan metode ilmiah dalam teknik reportase
dan mengadopsi langkah-langkah penelitian yang disyaratkan oleh dunia akademis
kedalam teknik pencarian berita, dan
(4) membuat berita dengan sajian berita yang sejenis
kreasi sastra yang dikemas jadi gaya baru dalam penulisan nonfiksi.
Fedler seorang komunikolog mengamati perkembangan
diatas, dimana ia membagi jurnalisme baru ke dalam empat pengertian, yakni :
1. Advocacy Journalism
2. Alternative Journalism
3. Precision Journalism
4. Literary Journalism
Pelaporan Jurnalisme Sastra
Penulisan baru didalam sistem Jurnalistik baru
adalah menulis feature. Wolfe seorang ilmuwan yang menjadi inspirator dalam new
journalism kala itu sedang merasa frustasi dengan gaya penulisan lama.
Menurutnya penulisan itu tak dapat mengakomodir kemampuannya untuk
mempertunjukkan kembali fakta lingkungan.
Kejadian kejadian diankat dari sifat sifat yang
mempunyai daya tarik tersendiri, dari kisah kisah nyata ,jadi dalam menulis
jurnalisme sastra ini bermacam macam rasa seperti membaca buku fiksi tetapi ini
sungguhan.
Dalam feature, Aktualitas “waktu” bukan sebuah
elemen utama yang di biasa diberlakukan pada setiap pemakai hard news.
Ketekunan memungut hal-hal spesifik ketika berada di lokasi observasi juga
menjadi aspek penting dalam membuat suatu feature.
Karya jurnalisme sastra juga bisa menjadi bacaan
mirip novel. Dalam jurnalisme sastra, kekuatan novel tercampur ke dalam gaya
menulis jurnalisme sastra yang (sebagai karya nonfiksi) tidak kalah mutunya
dibandingkan sebuah novel. Kegiatan ini bisa berawal dari feature seperti
penjelasan feature dibawah ini:
Feature adalah kategori lain penulis koran yang saat
itu mengedepankan model pemberitaan hard news ia ditempatkan di bagian berita
ringan dan dimasukkan dalam daftar item berita yang tak diburu-buru. Berita
yang diangkat bertema kemanusiaan, panjang, cukup lengkap, dan kerap
menyembunyikan pengalaman sentimentil orang-orang biasa yang terlibat dalam
suatu tragedi atau peristiwa luar biasa. Dalam agenda reportase itulah, dalam
banyak kasus, ia memberi seseorang keleluasaan ruang untuk menulis.
Penulisan feature menjalin banyak kejadian dan
komentar tokoh-tokoh menjadi sebuah cerita. Umumnya tulisan diawali dengan
pembuka kisah tidak langsung, diikuti sebuah insiden atau anekdot yang mewakili
tema pokok. Tubuh tulisan berisi insiden-insiden lanjutan, sejumlah kutipan dan
pokok berita. Bagian penutup meringkas kembali seluruh materi atau memasukkan
klimaks.
Akan tetapi bisa disebut jga novel,
“Like a
Novel”, demikian Wolfe memberi judul bagian kedua pendahuluan didalam bukunya.
Novel memang mempengaruhi kemunculan jurnalisme baru (sastra), tapi bukan
sekedar penjiplakan semata.
Jurnalisme sastra, secara konsep dan dalam banyak
segi memang membawa kebaruan. Kebaruan itu diawali dengan pencampuran fakta dan
fiksi. Pembaca dibuat merasa membaca kisah fiksi yang berbumbu fakta. Hal itu
karena sajian peliputannya kadang-kadang menampilkan tokoh-tokoh yang riil.
Bahkan dalam contoh yang paling ekstrem, pembaca tidak tahu lagi yang mana yang
fiksi yang mana yang fakta. Pada diri tokoh yang diberitakan, penulis
jurnalisme sastra dengan sengaja mengkompilasikan banyak karakter yang ia temui
saat meliput sehingga laporan mereka terasa dramatis dan diceritakan dalam
tempo penceritaan yang cepat.
Empat
alat
Jurnalisme Sastra
1. Penyusunan Adegan
Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan
demi adegan, atau suasana demi suasana. Teknik pengisahan suasana demi suasana,
membuat pembaca larut dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru.
Untuk melaporkan suatu berita secara lengkap, kerja jurnalis harus lebih dari
sekedar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya secara kronologis. Mereka harus
melakukan pengamatan melebihi reporter biasa.
2. Dialog
Setiap orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan
sesuatu”, dan apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita”. Dengan teknik
“dialog” ini, jurnalis sastra coba menjelaskan peristiwa yang hendak dilaporkannya.
Bagaimana yang terjadi, itu yang disampaikan. Melalui percakapan pula,
disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa
suatu peristiwa terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba memancing rasa
keingintahuan pembaca.
3. Sudut Pandang Orang Ketiga
Dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya pelapor,
ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang disekitar tokoh,
karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya berita. Sudut
pandang bisa didapat dari orang yang diajak berdialog. Dalam pelaporan jenis
ini, sudut pandang tidak hanya satu tetapi bisa sampai tiga. Orang ketiga bisa
jadi tokoh utama dalam berita, tetapi bisa juga sebagai orang yang berada di
sekitar kejadian dan tengah melaporkan hasil pengamatan jurnalistik.
4. Mencatat Detail
Semua hal dicatat dengan terperinci; yaitu perilaku,
adat istiadat kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan
wisata, makanan dan lain-lain. Jurnalisme diharuskan untuk lebih meriilkan
realitas peristiwa-berita dan dengan kesungguhan menampilkan kenyataan yang
murni dalam pelbagai segi..
Perkembangan
Jurnalisme Sastra
Fedler mencatat ada 4 bentuk turunan new journalism:
1. Advocacy journalism yang mengilustrasikan tujuan
penciptaan opini publik, melanjutkan peran watch dog (pengawas)dari fungsi the
four estate of the press.
2. Alternative journalism yang menspesialisasikan
target minat pembaca, seperti jurnal profesi
3. Precision journalism yang menggunakan metode
ilmiah sebagai alat reportase
4. Literary journalism yang menggunakan kreasi
sastra dalam penulisan laporan secara non fiksi
Pada perkembangannya kemudian kata Litetary
journalism menggantikan istilah new jornalism. Jurnalis seperti Newfield
percaya bahwa new journalism sebenarnya hanya perbedaaan gaya menulis. Paham
ini sudah ada sejak lama seperti yellow journalism yang muncul pada tahun
1890-an. Tak heran bila kemudian banyak kritikus mengecam new journalism yang
dianggap mengembalikan keburukan masa lalu. Mereka menyebutnya an era of bias,
hal ini karena new journalism melahirkan jurnalis yang terlalu subyektif dan
melebih-lebihkan individualisme wartawan dalam mengambil sudut pandang
ruang-waktu terhadap suatu peristiwa.
Pada tahun 1984, para jurnalis sastra memperkuat
karakteristik jurnalisme sastra yang dikembangkan Tom Wolfe pada tahun 1970-an.
Para jurnalis sastra memasukkan reportase immersion, akurasi, suara, struktur,
tanggung jawab, dan representasi simbolik. Para penulis menambahkan daftar
keterlibatan pribadi dan kreativitas artistik pada materi mereka. Sejumlah
elemen lain juga ditemukan yakni: proses pencarian akses, simbolisme fakta,
strategi-strategi riset, dan teknik-teknik yang juga dimiliki oleh fiksi dan
etnografi.
Elemen jurnalisme sastra menurut Farid Gaban
1. Akurasi, membuat penulis kredibel.
2. Keterlibatan, memadu reporter untuk menyajikan
detail yang merupakan kunci untuk menggugah emosi pembaca.
3. Struktur, tulisan harus mampu menggelar suasana,
merancang irama dan memberikan impact yang kuat kepada pembaca.
4. Suara, dalam artian posisi penulis dalam tulisan
tersebut.
5. Tanggung jawab, penulis harus mampu menampilkan
nilai pertanggung jawaban.
6. Simbolisme, setiap fakta yang kecil sekalipun
merupakan gagasan yang sengaja disusun karena terkait makna yang lebih dalam.
Aturan
Jurnalisme Sastra
1. Riset mendalam dan melibatkan diri dengan subjek
Jurnalisme sastra membutuhkan waktu yang lama dalam
melakukan reportase. Oleh sebab itu data yang ada lebih akurat dan mendalam.
Selain itu para jurnalis sastra harus lebih mendekatkan diri kepada sumber agar
data yang ada semakin akurat. Jurnalis juga harus mempunyai kepekaan yng tinggi
terhadap perilaku sumber.
2. Jujur kepada pembaca dan sumber berita
Pembaca merupakan hakim yang tidak boleh dibohongi
penulis.oleh karena itu, jurnalis harus menjaga hubungan baik dengan pembaca
dan sumber berita.
a. Hubungan penulis dengan pembaca
Penulis tidak boleh dengan sengaja mengkombinasi
atau memperbaiki adegan demi adegan, mengagregasi karakter, memoles kutipan,
atau mengubah keaslian materi liputan mereka. Ini yang membedakan mereka dengan
penulis fiksi.
b. Hubungan penulis dengan sumber berita
Ini menyangkut cara mencari dan menjaga kepercayaan
narasumber terhadap penulis. Penulis harus tetap bisa memperoleh informasi yang
otentik berdasarkan kesepakatan dengan para narasumber seperti mitra bisnis,
atau teman dekat.
3. Fokus pada peristiwa rutin
Untuk memudahkan penulis memperoleh bahan maka
biasanya mereka mencarinya di tempat yang dapat dikunjungi.
4. Menyajikan tulisan yang akrab-informal-manusiawi
Penulis harus menulis secara akrab, tulus ironis,
keliru, penuh penilaian dan manusiawi.namun tetap tanpa opini pribadi. Karena
apa yang disajikan kepada pembaca adalah fakta.
5. Gaya penulisan yang sederhana dan memikat
Penulisan sederhana dan memikat diperlukan untuk
membuat pembaca tidak hanya melihat tetapi juga merasakan peristiwa.
6. Sudut pandang yang langsung menyapa pembaca
Penulis tidak memposisikan diri secara statis.
7. Menggabungkan narasi primer dan narasi simpangan
Jurnalisme
Sastra di Indonesia
Di Indonesia, gaya penyajian sastra dalam penulisan
jurnalisme dipelopori oleh majalah Tempo. Pada tahun 1970-an, majalah ini
tampil menyegarkan dunia jurnalistik di Indonesia.
1. Fenomena puisi
Di berbagai majalah dan Koran, eksperimen puitik
sengaja dibuat untuk kepentingan sajian rubik-rubik tertentu. Salah satunya
catatan pinggir di majalah Tempo
2. Mengapa sastra?
Menurut Seno Gumira Ajidarma ketika jurnalisme
dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta,
sastra berbicara dengan kebenaran.
3. Bahasa kekuasaan
Bahasa menjadi sarana untuk membuat sajian informasi
beritanya menarik dan sekaligus berhasil menembus birokrasi bahasa Negara yang
menyembunyikan kebenaran
4. Mengapa puisi?
Bahasa puisi merupakan bahasa yang bebas dari dari
manipulasi dan pemalsuan arti. Bahasanya jujur, tulus, dan tertuju padfa
kehendak untuk memurnikan arti kata-kata, menjadi sebuah pilihan bagi jurnalis.
Dengan bahasa ini jurnalis dapat menghindari bahasa yang klise, ruwet,
takut-takut, penuh indoktrinasi, dan terbirokrasi.
Feature Sebagai Medium
Penulisan feature menjadi sarana bagi jurnalis untuk
mengembangkan gaya penulisan berita yang mengupas human interest, dan penulisan
opini sebagai sarana untuk memikat pembaca.
Nilai artistik feature
Kisah berita (news story) memiliki nilai arstistik
pengisahan yang kuat ketika penulisnya memasukan detail-detail pemaparan,
setting, dan action. Pembaca jadi merasa seperti berada dalam ruang observasi
dan bisa secara langsung mengamati peristiwa yang sedang terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar